Sabtu, 23 April 2016

Filosofi alam dengan pancasila

            “Apa kau pernah merasa sedih? Apa kau merasa sendiri? Apa kau pernah merasa kau orang yang paling buruk? Orang paling munafik?” suara bisikan itu terngiang-ngiang dalam benakku, entah bisikan darimana dan siapa.
            “Del, bangun” suara itu membangunkanku
            “ya?” tanyaku yang masih mencoba mengumpulkan butiran nyawa kesadaranku
            “ada guru” kata Reza
Mendengar hal itu Aku langsung terbangun, dan mengambil buku dilokerku. Untuk kesekian kalinya Aku tertidur dikelas. Pelajaran berjalan biasa saja, tidak ada yang menarik. Bel pulang sekolah yang ditunggupun akhirnya berbunyi, Aku sangat ingin pulang ke rumah.
            “del, pulang yuk” ajak Lili
            “yuk” ucapku. Aku dan Lili sering pulang bersama sampai perempatan ujung sekolah, Lili lebih jauh rumahnya daripada diriku.
Ngomong-ngomong namaku Adel, siswi yang biasa-biasa saja. Jarak dari rumah dan sekolah hanya ratusan meter ditempuh dengan berjalan kaki, tidak jago dalam banyak bidang, bukan anak yang periang juga bukan anak yang muram. Sudah dibilang Aku SISWI BIASA.
Lagi-lagi Aku berhenti di sebuah taman yang Aku lewati, taman itu baru selesai beberapa minggu yang lalu dan masih tampak terawat. Aku duduk dibangku panjang dibawah pohon yang cukup rindang, setidaknya membuat cahaya terik matahari tidak membakar kulitku.
Ragaku mengatakan harus cepat sampai rumah, namun jiwaku ingin aku tetap menikmati taman yang sama sekali tidak ada orang di jam pulang sekolah. Taman ini akan mulai ramai saat sore menjelang petang, banyak anak-anak bermain disini.
Aku membuka buku corat-coretku, ku tulis beberapa kata
            Apa tujuan aku diciptakan? Aku hanya menyusahkan
Ballpoinku berhenti menulis, hanya itu, kupandangi langit yang mulai mendung dan raga jiwaku secara bersamaan memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan ke rumah.
Sekarang hanya ada Aku dan ruang kosong. Rumah. gelap saat ku membuka pintu. Aku tinggal sendiri, ngekos orang bilang. Tak banyak ruangan yang Aku sebut ‘rumah ini’ hanya ada dapur kecil, kamar mandi dan kamar tidur.
Aku langsung menghempaskan tubuhku ke ranjang kecil yang sederhana namun cukup untuk menopang keinginan tubuhku akan kenyamanan sesaat. Tas ku jatuhkan disampingku, mataku menerawang melihat langit-langit rumah dan pikiran ku melanglang buana masuk ke alam imajinasi sederhanaku.
 “dreet…..dreet….” ponselku tiba-tiba bergetar, memecah lamunanku yang mungkin entah sampai kapankan usai. Ternyata hanya pesan dari operator. Karena lamunanku sudah terputus, Akupun ganti baju dan memasak, aku tinggal sendiri hanya masakan sederhana yang ku masak. Sayur bayam dan telur mata sapi. Setelah kurasa semua bumbu pas Aku mulai melahapnya, agar yang ku makan terasa lebih nikmat kubayangkan didepanku itu adalah makanan eropa kelas atas. Setidaknya itu cukup untuk menggugah selera makanku.
Adzan magrib berkumandang, aku langsung mengambil wudhu dan sholat lalu mengaji. Rutinitas biasa. Setelah itu seperti biasa pula aku mengeluarkan buku-buku dari tasku dan menggantinya dengan pelajaran esok hari.
Ku buka buku untuk esok hari, satu persatu ku lihat tak ada PR. Aku pun membuka buku corat-coret ku dan ku mulai menulis lagi. Aku bukan penulis yang baik apalagi mahir, kata-kataku sangat minim dan sama sekali tidak indah, menulis juga bukan hobiku namun menulis adalah hal yang selalu ditanamkan kedua orang tuaku semenjak aku kecil, selain menulis akupun dikenalkan atau bisa dibilang dituntut untuk terus membaca.
Saat Aku umur 4 tahun mungkin itu awalku bisa menulis dan membaca, lalu saat umurku 6 tahun Ibuku mulai mengenalkanku dengan buku-buku dongeng bahasa inggris. Aku sangat senang dengan semua itu, selain karena aku merasa aku hebat karena Ibuku selalu ada disampingku sampai aku kelas 1 SD, sebelumnya Ibuku sudah membuka warung kue kecil didepan rumah setiap bulan puasa dan sudah jadi peternak ikan mas dan lele, namun ibuku memutuskan untuk bekerja kantoran saat aku kelas 2 SD, meski kasih sayangnya tetap sama namun yang biasanya Aku pulang ke rumah, Aku saat itu jadi ke kantor Ibuku, Aku sering diam dilobi. Nah disaat-saat itulah aku selalu ditemani pensil dan kertas-kertas, saat awal-awal ibuku mengajariku menulis puisi dengan menggunakan pola.
K   
     U
     P
     U
Namun lama-lama aku bisa sendiri, hal itu terus kulakukan hingga aku menginjak kelas 5 SD. Saat kelas 6 aku sudah mulai tidak ke kantor Ibuku, Aku langsung pulang ke rumah dan di saat itu pula aku sudah mulai bisa memasak.
Aku sering sendirian dirumah, Aku bukan anak yang suka bersosialisasi saat itu, aku sedikit penyendiri. Aku lebih suka berkutat dengan duniaku sendiri dan tak membiarkan sembarang orang masuk ke dalamnya.
Saat SMP Ibuku berhenti bekerja, Ayahkupun memutuskan demikian. Kami semua pindah ke pedesaan dan orang tuaku memilih menjadi guru. Mau tak mau aku ikut pindah, namun dimasa inilah semua terlihat indah. Kehangatan keluarga utuh benar-benar kurasakan. Selalu ada keceriaan yang begitu indah diantara kami semua.
Meski begitu, karena menjadi guru honorer di desa tak seberapa tentu saja berdampak pada keuangan keluarga kami. Perlahan kami mulai menghemat, orang tuaku selain mengajar juga menjadi peternak ikan lagi.
Karena sekolahku jauh aku diantar jemput oleh ayahku, tiba dipenghujung SMP Aku memutuskan untuk hidup mandiri, Aku daftar SMA diluar kota.
Itu semua hanya sekedar masa lalu yang kupikir akan terus tersimpan bagi diriku sendiri. Aku sekarang menjalani hidupku dengan sangat biasa. Dengan tetap menulis dan membaca.
Aku sering bermimpi untuk menjadi penulis terkenal namun perlahan mimpi itu pudar seiring dengan menipisnya diriku percaya akan mimpi-mimpi.
Keesokan harinya, aku terhenti kembali di taman itu, namun kali ini dibangku yang biasa aku duduki ada seseorang, memakai seragam SMA sepertiku.
Aku tak mempedulikannya akupun duduk di ujung bangku, berjarak setengah meter dari dirinya. Seperti biasa aku membuka buku corat-coretku dan aku pun menulis lagi.
Sinar mentari tak terlalu terik, sayup angin terasa nyaman mengusik tubuhku, namun siapa gerangan yang disampingku?
Saat ku mencoba miliriknya ternyata Dia juga melirikku, sesaat mata kami bertemu, karena aku malu aku langsung kembalikan pandanganku pada bukuku. Hening sesaat. Cepat-cepat kumasukkan bukuku ke dalam tas dan aku beranjak pulang, kira-kira sekitar lima langkah Dia memanggilku
“Hei, kamu” katanya. Tanpa pikir panjang aku menoleh dan berkata “ya?” dan ternyata dia berbicara hal itu pada temannya yang baru datang. Aku begitu malu lalu langsung berlari keluar dari taman itu. Entah suaraku keras atau tidak saat aku berkata “ya”. Kuharap Dia tidak menyadarinya.
Saat sampai dirumah aku terus saja mengutuk diriku karena melakukan hal yang sangat memalukan. Namun hal itu dengan cepat aku lupakan, Aku kembali sibuk dengan PR-PR yang harus kukumpulkan besok.
Saat disekolah ada kejadian yang memilukan, temanku menangis karena pacarnya. Aku berusaha menenangkannya begitupun teman-teman yang lain, aku tanpa pikir panjang bertanya pada pacarnya dan memintanya untuk minta maaf.
“Ga, itu Cika kamu apain? Minta maaf” nadaku sedikit menahan emosi marahku
“aku Cuma minta putus, kita udah gak cocok” jawabnya tanpa penyesalan
Mendengar hal itu aku langsung kesal, namun karena ini disekolah aku meredam amarahku dan langsung meninggalkannya.
Memang dari awal aku tdak setuju Gaga dengan Cika, Gaga itu terkenal sering gonta-ganti pacar. Dan Cika belum pernah pacaran.
“udah ya cik, sabar. Masih ada yang lain yang lebih baik” kataku pada Cika. Cika hanya menangguk, aku dan teman-teman semakin bingung sekaligus kasihan pada Cika.
Cika berhenti menangis saat guru datang, Aku dan teman-temankupun kembali ke bangku masing-masing.
Pelajaran kali ini adalah pelajaran bahasa Indonesia, dan kami semua disuruh untuk membuat pusi, hal ini begitu cocok dengan Cika. Cika yang sedang patah hati membuat pusi paling memilukan diantara kami semua.
Pulang sekolah aku kembali singgah ditaman, sekarang tak ada lelaki kemarin. Akupun membuka buku coretanku dan menulis
Wahai cinta apa kau akan menorehkan luka setelah kau memberikan suka? Tak bisakah selamanya kau berikan bahagia?
Cinta, yang kutahu cinta pada ilahi dan keluarga. Namun apa itu cinta yang sudah dirasa teman-temanku?
Kuharap aku tak pernah merasakannya, karena aku tak ingin menyakiti atau tersakiti.
“sering kesini” suara itu mengagetkanku tiba-tiba. Aku langsung menoleh, dan ternyata lelaki kemarin. Aku hanya mengangguk lalu cepat-cepat menutup bukuku. Sejauh ini tak ada yang mengetahui jika aku sering menulis, teman-temanku hanya tau aku senang membaca.
“lagi nulis apa?” tanyanya lagi.
“bukan apa-apa” jawabku cepat.
“ngomong-ngomong aku Bagas, SMA pelita”
“aku Adel, SMA harapan”
“sudah tertebak dari seragamnya, ngomong-ngomong kalo anak SMA kita tau kita duduk deketan gini bisa jadi gossip loh. SMA kitakan bener-bener saingan” katanya panjang lebar
“gak usah dipikirin, itukan mereka” jawabku seolah tak peduli. Aku bukan perempuan genit, bukan juga perempuan tomboy. Aku sedikit cuek dan gengsiku tinggi, namun aku tak segan membela orang-orang terdekatku yang tersakiti. Aku perempuan biasa.
“okay” jawabnya pendek.
“aku duluan” kataku menyudahi perkenalan singkat ini, Aku kesini untuk menulis, namun jika ada orang disampingku aku tak dapat melakukannya.
Setiap hari Aku dan Bagas bertemu di taman, seiring berjalannya waktu aku menyadari Dia begitu asik dan nyaman diajak bicara.  
“ kamu itu kayanya kurang peka ya” katanya suatu hari
“peka gimana?” tanyaku bingung
“ya aneh gak sih kita ketemu tiap pulang sekolah ditaman?”
“enggaklah, kan emang kita sama-sama mikir ini tempatnya nyaman. Emang kebetulan jugakan?”
“kalo aku sengaja gimana?”
“ya gak apa-apa”
Hari terus beranjak sore, saat aku hendak pulang tiba-tiba Cika dan Lili datang ke taman.
“Hei del?” sapa mereka
“hei, tumben kalian ke taman” jawabku ramah
 “mumpung malam minggu” jawab Cika. Namun melihat tatapan mereka berdua mengandung sesuatu, aku yang mulai mengerti apa yang mereka pikirkan langsung mengenalkan Bagas pada mereka
“gas, ini cika sama Lili temen aku”
“bagas”
“lili”
“cika”
“ya udah ya kita kesana dulu” mereka pun pergi menyisakan kami berdua. Tak lama bagas tertawa
“kenapa ketawa?” tanyaku yang pura-pura tak mengerti.
“kayanya mereka ngefans sama aku” katanya dengan nada sok
“gak akan ya, aku gak bakal biarin temen-temen aku tersakiti sama kamu”
            “uuh cemburu”
            “ terserah deh, aku pulang dulu. Daah”
Aku tak mempedulikannya, aku langsung pulang ke rumah.
Aku pikir memang janggal Aku dan Dia