“Apa kau pernah merasa sedih? Apa
kau merasa sendiri? Apa kau pernah merasa kau orang yang paling buruk? Orang
paling munafik?” suara bisikan itu terngiang-ngiang dalam benakku, entah
bisikan darimana dan siapa.
“Del, bangun” suara itu
membangunkanku
“ya?” tanyaku yang masih mencoba
mengumpulkan butiran nyawa kesadaranku
“ada guru” kata Reza
Mendengar hal itu Aku langsung terbangun, dan
mengambil buku dilokerku. Untuk kesekian kalinya Aku tertidur dikelas.
Pelajaran berjalan biasa saja, tidak ada yang menarik. Bel pulang sekolah yang
ditunggupun akhirnya berbunyi, Aku sangat ingin pulang ke rumah.
“del, pulang yuk” ajak Lili
“yuk” ucapku. Aku dan Lili sering
pulang bersama sampai perempatan ujung sekolah, Lili lebih jauh rumahnya
daripada diriku.
Ngomong-ngomong namaku Adel, siswi yang biasa-biasa
saja. Jarak dari rumah dan sekolah hanya ratusan meter ditempuh dengan berjalan
kaki, tidak jago dalam banyak bidang, bukan anak yang periang juga bukan anak
yang muram. Sudah dibilang Aku SISWI BIASA.
Lagi-lagi Aku berhenti di sebuah taman yang Aku
lewati, taman itu baru selesai beberapa minggu yang lalu dan masih tampak
terawat. Aku duduk dibangku panjang dibawah pohon yang cukup rindang,
setidaknya membuat cahaya terik matahari tidak membakar kulitku.
Ragaku mengatakan harus cepat sampai rumah, namun
jiwaku ingin aku tetap menikmati taman yang sama sekali tidak ada orang di jam
pulang sekolah. Taman ini akan mulai ramai saat sore menjelang petang, banyak
anak-anak bermain disini.
Aku membuka buku corat-coretku, ku tulis beberapa
kata
Apa tujuan aku diciptakan? Aku hanya menyusahkan
Ballpoinku berhenti menulis, hanya itu, kupandangi
langit yang mulai mendung dan raga jiwaku secara bersamaan memutuskan untuk
kembali melanjutkan perjalanan ke rumah.
Sekarang hanya ada Aku dan ruang kosong. Rumah.
gelap saat ku membuka pintu. Aku tinggal sendiri, ngekos orang bilang. Tak banyak ruangan yang Aku sebut ‘rumah ini’
hanya ada dapur kecil, kamar mandi dan kamar tidur.
Aku langsung menghempaskan tubuhku ke ranjang kecil
yang sederhana namun cukup untuk menopang keinginan tubuhku akan kenyamanan
sesaat. Tas ku jatuhkan disampingku, mataku menerawang melihat langit-langit
rumah dan pikiran ku melanglang buana masuk ke alam imajinasi sederhanaku.
“dreet…..dreet….”
ponselku tiba-tiba bergetar, memecah lamunanku yang mungkin entah sampai
kapankan usai. Ternyata hanya pesan dari operator. Karena lamunanku sudah
terputus, Akupun ganti baju dan memasak, aku tinggal sendiri hanya masakan
sederhana yang ku masak. Sayur bayam dan telur mata sapi. Setelah kurasa semua
bumbu pas Aku mulai melahapnya, agar yang ku makan terasa lebih nikmat
kubayangkan didepanku itu adalah makanan eropa kelas atas. Setidaknya itu cukup
untuk menggugah selera makanku.
Adzan magrib berkumandang, aku langsung mengambil
wudhu dan sholat lalu mengaji. Rutinitas biasa. Setelah itu seperti biasa pula
aku mengeluarkan buku-buku dari tasku dan menggantinya dengan pelajaran esok
hari.
Ku buka buku untuk esok hari, satu persatu ku lihat
tak ada PR. Aku pun membuka buku corat-coret ku dan ku mulai menulis lagi. Aku
bukan penulis yang baik apalagi mahir, kata-kataku sangat minim dan sama sekali
tidak indah, menulis juga bukan hobiku namun menulis adalah hal yang selalu
ditanamkan kedua orang tuaku semenjak aku kecil, selain menulis akupun
dikenalkan atau bisa dibilang dituntut untuk terus membaca.
Saat Aku umur 4 tahun mungkin itu awalku bisa
menulis dan membaca, lalu saat umurku 6 tahun Ibuku mulai mengenalkanku dengan
buku-buku dongeng bahasa inggris. Aku sangat senang dengan semua itu, selain
karena aku merasa aku hebat karena Ibuku selalu ada disampingku sampai aku
kelas 1 SD, sebelumnya Ibuku sudah membuka warung kue kecil didepan rumah
setiap bulan puasa dan sudah jadi peternak ikan mas dan lele, namun ibuku
memutuskan untuk bekerja kantoran saat aku kelas 2 SD, meski kasih sayangnya
tetap sama namun yang biasanya Aku pulang ke rumah, Aku saat itu jadi ke kantor
Ibuku, Aku sering diam dilobi. Nah disaat-saat itulah aku selalu ditemani pensil
dan kertas-kertas, saat awal-awal ibuku mengajariku menulis puisi dengan
menggunakan pola.
K
U
P
U
Namun lama-lama aku bisa sendiri, hal itu terus
kulakukan hingga aku menginjak kelas 5 SD. Saat kelas 6 aku sudah mulai tidak
ke kantor Ibuku, Aku langsung pulang ke rumah dan di saat itu pula aku sudah
mulai bisa memasak.
Aku sering sendirian dirumah, Aku bukan anak yang
suka bersosialisasi saat itu, aku sedikit penyendiri. Aku lebih suka berkutat
dengan duniaku sendiri dan tak membiarkan sembarang orang masuk ke dalamnya.
Saat SMP Ibuku berhenti bekerja, Ayahkupun
memutuskan demikian. Kami semua pindah ke pedesaan dan orang tuaku memilih
menjadi guru. Mau tak mau aku ikut pindah, namun dimasa inilah semua terlihat
indah. Kehangatan keluarga utuh benar-benar kurasakan. Selalu ada keceriaan
yang begitu indah diantara kami semua.
Meski begitu, karena menjadi guru honorer di desa
tak seberapa tentu saja berdampak pada keuangan keluarga kami. Perlahan kami
mulai menghemat, orang tuaku selain mengajar juga menjadi peternak ikan lagi.
Karena sekolahku jauh aku diantar jemput oleh
ayahku, tiba dipenghujung SMP Aku memutuskan untuk hidup mandiri, Aku daftar
SMA diluar kota.
Itu semua hanya sekedar masa lalu yang kupikir akan
terus tersimpan bagi diriku sendiri. Aku sekarang menjalani hidupku dengan
sangat biasa. Dengan tetap menulis dan membaca.
Aku sering bermimpi untuk menjadi penulis terkenal
namun perlahan mimpi itu pudar seiring dengan menipisnya diriku percaya akan
mimpi-mimpi.
Keesokan harinya, aku terhenti kembali di taman itu,
namun kali ini dibangku yang biasa aku duduki ada seseorang, memakai seragam
SMA sepertiku.
Aku tak mempedulikannya akupun duduk di ujung
bangku, berjarak setengah meter dari dirinya. Seperti biasa aku membuka buku corat-coretku
dan aku pun menulis lagi.
Sinar mentari tak terlalu terik, sayup angin terasa nyaman mengusik
tubuhku, namun siapa gerangan yang disampingku?
Saat ku mencoba miliriknya ternyata Dia juga
melirikku, sesaat mata kami bertemu, karena aku malu aku langsung kembalikan
pandanganku pada bukuku. Hening sesaat. Cepat-cepat kumasukkan bukuku ke dalam
tas dan aku beranjak pulang, kira-kira sekitar lima langkah Dia memanggilku
“Hei, kamu” katanya. Tanpa pikir panjang aku menoleh
dan berkata “ya?” dan ternyata dia berbicara hal itu pada temannya yang baru
datang. Aku begitu malu lalu langsung berlari keluar dari taman itu. Entah
suaraku keras atau tidak saat aku berkata “ya”. Kuharap Dia tidak menyadarinya.
Saat sampai dirumah aku terus saja mengutuk diriku
karena melakukan hal yang sangat memalukan. Namun hal itu dengan cepat aku
lupakan, Aku kembali sibuk dengan PR-PR yang harus kukumpulkan besok.
Saat disekolah ada kejadian yang memilukan, temanku
menangis karena pacarnya. Aku berusaha menenangkannya begitupun teman-teman
yang lain, aku tanpa pikir panjang bertanya pada pacarnya dan memintanya untuk
minta maaf.
“Ga, itu Cika kamu apain? Minta maaf” nadaku sedikit
menahan emosi marahku
“aku Cuma minta putus, kita udah gak cocok” jawabnya
tanpa penyesalan
Mendengar hal itu aku langsung kesal, namun karena
ini disekolah aku meredam amarahku dan langsung meninggalkannya.
Memang dari awal aku tdak setuju Gaga dengan Cika,
Gaga itu terkenal sering gonta-ganti pacar.
Dan Cika belum pernah pacaran.
“udah ya cik, sabar. Masih ada yang lain yang lebih
baik” kataku pada Cika. Cika hanya menangguk, aku dan teman-teman semakin bingung
sekaligus kasihan pada Cika.
Cika berhenti menangis saat guru datang, Aku dan
teman-temankupun kembali ke bangku masing-masing.
Pelajaran kali ini adalah pelajaran bahasa
Indonesia, dan kami semua disuruh untuk membuat pusi, hal ini begitu cocok
dengan Cika. Cika yang sedang patah hati membuat pusi paling memilukan diantara
kami semua.
Pulang sekolah aku kembali singgah ditaman, sekarang
tak ada lelaki kemarin. Akupun membuka buku coretanku dan menulis
Wahai cinta apa kau akan menorehkan luka setelah kau memberikan
suka? Tak bisakah selamanya kau berikan bahagia?
Cinta, yang kutahu cinta pada ilahi dan keluarga. Namun apa itu
cinta yang sudah dirasa teman-temanku?
Kuharap aku tak pernah merasakannya, karena aku tak ingin
menyakiti atau tersakiti.
“sering kesini” suara itu mengagetkanku tiba-tiba.
Aku langsung menoleh, dan ternyata lelaki kemarin. Aku hanya mengangguk lalu
cepat-cepat menutup bukuku. Sejauh ini tak ada yang mengetahui jika aku sering
menulis, teman-temanku hanya tau aku senang membaca.
“lagi nulis apa?” tanyanya lagi.
“bukan apa-apa” jawabku cepat.
“ngomong-ngomong aku Bagas, SMA pelita”
“aku Adel, SMA harapan”
“sudah tertebak dari seragamnya, ngomong-ngomong
kalo anak SMA kita tau kita duduk deketan gini bisa jadi gossip loh. SMA
kitakan bener-bener saingan” katanya panjang lebar
“gak usah dipikirin, itukan mereka” jawabku seolah
tak peduli. Aku bukan perempuan genit, bukan juga perempuan tomboy. Aku sedikit cuek dan gengsiku
tinggi, namun aku tak segan membela orang-orang terdekatku yang tersakiti. Aku
perempuan biasa.
“okay” jawabnya pendek.
“aku duluan” kataku menyudahi perkenalan singkat
ini, Aku kesini untuk menulis, namun jika ada orang disampingku aku tak dapat
melakukannya.
Setiap hari Aku dan Bagas bertemu di taman, seiring
berjalannya waktu aku menyadari Dia begitu asik dan nyaman diajak bicara.
“ kamu itu kayanya kurang peka ya” katanya suatu
hari
“peka gimana?” tanyaku bingung
“ya aneh gak sih kita ketemu tiap pulang sekolah
ditaman?”
“enggaklah, kan emang kita sama-sama mikir ini
tempatnya nyaman. Emang kebetulan jugakan?”
“kalo aku sengaja gimana?”
“ya gak apa-apa”
Hari terus beranjak sore, saat aku hendak pulang
tiba-tiba Cika dan Lili datang ke taman.
“Hei del?” sapa mereka
“hei, tumben kalian ke taman” jawabku ramah
“mumpung
malam minggu” jawab Cika. Namun melihat tatapan mereka berdua mengandung
sesuatu, aku yang mulai mengerti apa yang mereka pikirkan langsung mengenalkan
Bagas pada mereka
“gas, ini cika sama Lili temen aku”
“bagas”
“lili”
“cika”
“ya udah ya kita kesana dulu” mereka pun pergi
menyisakan kami berdua. Tak lama bagas tertawa
“kenapa ketawa?” tanyaku yang pura-pura tak
mengerti.
“kayanya mereka ngefans sama aku” katanya dengan
nada sok
“gak akan ya, aku gak bakal biarin temen-temen aku
tersakiti sama kamu”
“uuh cemburu”
“ terserah deh, aku pulang dulu.
Daah”
Aku
tak mempedulikannya, aku langsung pulang ke rumah.
Aku
pikir memang janggal Aku dan Dia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar